BAB I
PENDAHULUAN
Persoalan kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani sebagai norma moral subjektif bukanlah sebuah persoalan yang mudah diselesaikan dengan begitu saja dalam kehidupan manusia, karena hati nurani berkaitan erat dengan pribadi manusia. Bahkan, para pakar moral mengatakan bahwa pembicaraan mengenai hati nurani sebagai norma moral subjektif merupakan suatu fakta yang sangat rumit karena apa yang disebut sebagai norma moral subjektif tidak lepas dari pribadi atau subjek yang mengambil keputusan. Dapat dikatakan bahwa hati nurani sebagai norma moral subyektif memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, terutama ketika manusia berhadapan dengan suatu persoalan yang membutuhkan keputusan dari manusia itu sendiri.
Hati nurani sebagai jalan keluar yang paling akhir dalam mengambil keputusan menjadikan manusia otoritas eksklusif atas apa yang diperintahkan oleh hati nuraninya. Dengan demikian, setiap orang sebagai subjek yang mengambil keputusan bertanggungjawab atas tindakan dan perbuatannya dengan segala konsekuensi dari apa yang dia putuskan. Pengambilan keputusan oleh setiap orang dapat kita lihat dalam pengalaman hidup sehari-hari.
Hati nurani sebagai jalan keluar yang paling akhir dalam mengambil keputusan menjadikan manusia otoritas eksklusif atas apa yang diperintahkan oleh hati nuraninya. Dengan demikian, setiap orang sebagai subjek yang mengambil keputusan bertanggungjawab atas tindakan dan perbuatannya dengan segala konsekuensi dari apa yang dia putuskan. Pengambilan keputusan oleh setiap orang dapat kita lihat dalam pengalaman hidup sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebebasan
Dilihat dari segi sifatnya, kebebasan itu dapat dibagi tiga.
Pertama kebebasan jasmaniah, yaitu kebebasan dalam menggerakkan dan mempergunakan anggota badan yang kita miliki. Dan jika dijumpai adanya batas-batas jangkauan yang dapat dilakukan oleh anggota badan kita, hal itu tidak mengurangi kebebasan, melainkan menentukan sifat dari kebebasan itu.
Kedua kebebasan kehendak, yaitu kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Kebebasan kehendak berbeda dengan kebebasan jasmaniah. Kebebasan kehendak tidak dapat secara langsung dibatasi dari luar. Orang tidak dapat dipaksakan menghendaki sesuatu, sekalipun jasmaniahnya dikurung.
Ketiga, kebebasan moral yang dalam arti luas berarti tidak adanya macam-macam ancaman, tekanan, larangan dan desakan yang tidak sampai berupa paksaan fisik. Dan dalam arti sempit berarti tidak adanya kewajiban, yaitu kebebasan berbuat apabila terdapat kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak.
Kebebasan pada tahap selanjutnya mengandung kemampuan khusus manusiawi untuk bertindak, yaitu dengan menentukan sendiri apa yang mau dibuat berhadapan dengan macam-macam unsur. Manusia bebas berarti manusia yang dapat menentukan sendiri tindakannya. Selanjutnya manusia dalam bertindak dipengaruhi oleh lingkungan luar, tetapi dapat juga mengambil sikap dan menentukan dirinya sendiri. Dengan demikian kebebasan ternyata merupakan tanda dan ungkapan martabat manusia, sebagai satu-satunya makhluk yang tidak hanya ditentukan dan digerakkan, melainkan yang dapat menentukan dunianya dan dirinya sendiri.
Paham adanya kebebasan pada manusia ini sejalan pula dengan isyarat yang diberikan Al-Qur’an, yang terdapat pada QS. Kahfi ayat 29 dan QS. Fushilat ayat 40 yaitu:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
Artinya: “Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir"
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (٤٠)
Artinya: “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.[1]
B. Pengertian Tanggung Jawab
Selanjutnya kebebasan sebagaimana disebutkan diatas itu ditantang jika berhadapan dengan kewajiban moral. Sikap moral yang dewasa adalah sikap bertanggung jawab. Tak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan. Di sinilah letak hubungan kebebasan dengan tanggung jawab.
Dalam kerangka tanggung jawab ini, kebebasan mengandung arti: 1) kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri, 2) kemampuan untuk bertanggung jawab, 3) kedewasaan manusia, dan 4) keseluruhan kondisi yang memungkinkan manusia melakukan tujuan hidupnya.
Dengan demikian tanggung jawab dalam kerangka akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik. Ini pun sesuai dengan ungkapan Indonesia, yaitu kalau dikatakan bahwa orang yang melakukan kekacauan sebagai orang yang tidak bertanggung jawab, maka yang dimaksud adalah bahwa perbuatan yang dilakukan orang tersebut secara moral tidak dapat dipertangung jawabkan, mengingat perbuatan tersebut tidak dapat diterima oleh masyarakat.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa tanggung jawab erat kaitannya dengan kesengajaan atau perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran. Orang yang melakukan perbuatan tapi dalam keadaan tidur atau mabuk dan semacamnya tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dapat dipertanggung jawabkan, karena perbuatan tersebut dilakukan bukan karena pilihan akalnya yang sehat. Selain itu tanggung jawab juga erat hubungannya dengan hati nurani atau intuisi yang ada dalam diri manusia yang selalu menyuarakan kebenaran. Seseorang baru dapat disebut bertanggung jawab apabila secara intuisi perbuatannya itu dapat dipertanggung jawabkan pada hati nurani dan kepada masyarakat pada umumnya.
Paham adanya tanggung jawab pada manusia ini sejalan pula dengan isyarat yang diberikan Al-Qur’an, yang terdapat pada QS. Al-Isra ayat 36:
وَلا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا (٣٦)
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.
C. Pengertian Hati Nurani
Hati nurani atau intuisi merupakan tempat di mana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan. Karena sifatnya yang demikian itu, maka hati nurani harus menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak menyalahi atau membelenggu hati nuraninya, karena kebebasan yang demikian itu pada hakikatnya adalah kebebasan yang merugikan secara moral.[2]
Manusia merasa bahwa dalam jiwanya ada suatu kekuatan yang memperingatkan perbuatan buruk, dan usaha mencegah dari perbuatan itu. Bila ia tetap dalam perbuatannya dan mulai berbuat maka ia merasa tidak senang waktu mengerjakan karena tidak tunduk pada kekuatan itu. Sehingga bila ia telah menyelesaikan perbuatannya, mulailah kekuatan itu meraihnya, atas perbuatan yang ia lakukan dan kemudian ia merasa menyesal atas perbuatan itu. Demikian juga ia merasa bahwa kekuatan itu memerintahnya agar melakukan kewajiban. Bila ia mulai dalam perbuatannya, kekuatan itu mendorongnya untuk melangsungkan perbuatannya, dan bila telah selesai ia merasa lapang dada dan gembira, dan terasa pula akan ketinggian dirinya dan kebesarannya. Kekuatan memerintah dan melarang ini disebut “suara hati”, kekuatan itu sebagai yang kita ketahui mendahului perbuatan mengirinya dan menyusulnya. Dia mendahuluinya dengan memberi petunjuk akan perbuatan wajib dan menakutinya dari kemaksiatan, dan mengiringnya dengan mendorongkan buat menyempurnakan perbuatan yang baik dan menahan dari perbuatan yang buruk, dan menyusulnya dengan gembira dan senang waktu ditaati, dan berasa sakit dan pedih waktu dilanggarnya.[3]
Paham tentang hati nurani pada manusia ini sejalan pula dengan isyarat yang diberikan Al-Qur’an, yang terdapat pada QS. Asy-Syams:7-8
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا (٧)فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا (٨)
Artinya:
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya)”
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
Setelah itu, Allah SWT, melanjutkan lagi وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا demi jiwa serta apa yang menyerasikan penciptaannya. Yakni dengan menanamkan potensi-potensi lahiriah dan bathiniahnya, menentukan fungsinya masing-masing dan menempatkan semua itu secara proporsional dalam masing-masing anggota tubuh, agar dapat digunakan sebaik-baiknya. Itulah sebabnya Allah SWT memberikan rincian lagi, فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا lalu ia mengilhaminya (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. Jelaslah bahwa diantara penyempurnaan penciptaan jiwa manusia adalah dengan memberinya akal, ia mempu membedakan antara kebaikan dan kejahatan.[4] Ilham merupakan anugerah pembawaan pada sebagian orang, yang bisa diperkuat lagi dengan latihan dan mujahadah, ditumbuhkan dengan taqwa kepada Allah, dipertebal dengan iman dan keyakinan kepada Allah dengan begitu firasatnya menjadi benar.[5]
Dari pemahaman kebebasan yang demikian itu, maka timbullah tanggung jawab, yaitu bahwa kebebasan yang diperbuat itu secara hati nurani dan moral harus dapat dipertanggung jawabkan.
D. Hubungan Kebebasan, Tanggung Jawab dan Hati Nurani dengan Akhlak
Suatu perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai perbuatan akhlaki atau perbuatan yang dapat dinilai berakhlak, apabila perbuatan tersebut dilakukan atas kemauan sendiri, bukan paksaan dan bukan pula dibuat-buat dan dilakukan dengan tulus ikhlas. Untuk mewujudkan perbuatan akhlak yang ciri-cirinya demikian baru bisa terjadi apabila orang yang melakukannya memiliki kebebasan atau kehendak yang timbul dari dalam dirinya sendiri. Dengan demikian perbuatan yang berakhlak itu adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja secara bebas. Di sinilah letak hubungan antara kebebasan dan perbuatan akhlak.
Selanjutnya perbuatan akhlak juga harus dilakukan atas kemauan sendiri dan bukan paksaan. Perbuatan yang seperti inilah yang dapat dimintakan pertanggung jawabnya dari orang yang melakukannya. Di sinilah letak hubungan antara tanggung jawab dengan akhlak. Dalam pada itu perbuatan akhlak juga harus muncul dari keikhlasan hati yang melakukannya, dan dapat dipertanggung jawabkan kepada hati sanubari, maka hubungan akhlak dengan kata hati menjadi demikian penting. Dengan demikian, masalah kebebasan, tanggung jawab dan hati nurani adalah merupakan faktor dominan yang menentukan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan akhlaki.[6]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Perbuatan seseorang akan bermakna apabila yang bersangkutan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, maka kesimpulanya adalah orang yang dapat dimintai tanggung jawab adalah orang yang memiliki kebebasan. Tak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan. Disinilah letak hubungan tanggung jawab dan kebebasan. Dengan demikian tanggung jawab dalam kerangka akhlak adalah keyakinan bahwa tindakannya itu baik.
Hati nurani atau intuisi merupakan tempat dimana manusia dapat memperoleh saluran ilham dari Tuhan. Hati nurani ini diyakini selalu cenderung kepada kebaikan dan tidak suka kepada keburukan. Karena sifatnya yang demikian maka hati nurani harus menjadi salah satu pertimbangan dalam melaksanakan kebebasan yang ada dalam diri manusia, yaitu kebebasan yang tidak membelenggu hati nuraninya.
Perbuatan berakhlak adalah perbuatan yang dilakukan secara sengaja dan bebas. Disinilah letak hubungan akhlak dan kebebasan. Akhlak juga harus dilakukan atas kemauan sendiri dan bukan paksaan. Perbuatan seperti ini disebut perbuatan yang bertanggung jawab. Disinilah letak hubungan akhlak dan tanggung jawab. Terakhir, Perbuatan akhlak juga harus muncul dari keikhlasan hati yag melakukanya dan dapat dipertanggung jawabkan kepada hati sanubari, maka disinilah hubungan akhlak dan hati nurani.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009
Amin, Ahmad, Etika (Ilmu Akhlak), Cet. Ke 8, Jakarta: Bulan Bintang, 1995
Abduh, Muhammad, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, diterjemahkan oleh Muhammad Bagir, Tafsir juz ‘AmmaMuhammad Abduh, Cet. V, Bandung: Mizan, 1999
Qardhawi, Yusuf, Menghidupkan Nuansa Rabbaniah dan Ilmiah, Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 1996
[1]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009), hh. 131-133
[2]Ibid, hh. 133-135
[3]Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), Cet. Ke 8, h. 68
[4]Muhammad Abduh, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, diterjemahkan oleh Muhammad Bagir, Tafsir juz ‘AmmaMuhammad Abduh, (Bandung: Mizan, 1999), Cet. V, h. 192
[5]Yusuf Qardhawi, Menghidupkan Nuansa Rabbaniah dan Ilmiah, (Jakarta: Pustaka Al-kautsar, 1996), h. 201
[6]Abuddin Nata, op.cit, hh. 135-136
Tidak ada komentar:
Posting Komentar