Jumat, 18 Februari 2011

“Belajar Penemuan menurut Jerome Bruner”



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kita ketahui bahwa pendidikan sebagai usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan. Usaha-usaha yang dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma tersebut serta mewariskannya kepada generasi berikutnya untuk dikembangkan dalam hidup dan kehidupan yang terjadi dalam suatu proses pendidikan[1].
Dalam hal pendidikan, tentu tidak akan terlepas dari kata belajar, dimana belajar adalah suatu kata yang sudah akrab dengan semua lapisan masyarakat. Bagi pelajar atau mahasiswa kata “belajar” merupakan kata yang tidak asing. Bahkan sudah merupakan bagian yang tidak terpisah dari semua kegiatan mereka dalam menunut ilmu dilembaga pendidikan formal. Kegiatan belajar mengajar mereka lakukan setiap waktu sesuai dengan keinginan. Entah malam hari, sore hari atau pagi hari[2].
Dari dulu hingga sekarang para ahli psikologi dan pendidikan tidak bosan-bosannya membicarakan masalah belajar. Penelitian demi penilitian sudah pula dilakukan. Berbagai teori belajar sudah tercipta sebagai hasil dari penelitian[3]. Dari beberapa teori yang terdcipta tersebut ada teori belajar penemuan yang dikembangkan oleh Jerome Bruner, diamana pada saat ini teori merupakan salah satu teori yang baik untuk dikembangkan di era globalisasi. Oleh karena itu dalam kesempatan akan di bahas secara mendalam mengenai teori tersebut.


B.     Rumusan Masalah
Teori belajar penemuan yang dikembangkan oleh Jerome Bruner, diamana pada saat ini teori tersebut merupakan salah satu teori yang baik untuk dikembangkan di era globalisasi. Tentunya berbagai pembahasan akan menjelaskan teori tersebut. Karena itu untuk dapat memudahkan kita dalam pembahasan, maka dalam paper ini akan dipaparkan ;
1.      Bagaimana belajar penemuan (Discovery) menurut Jerome Bruner.

C.    Tujuan  Penulisan
1.      Untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Psikologi Belajar
2.      Untuk memberikan kejelasan kepada para pembaca dalam memahami teori belajar penemuan menurut Jerome Bruner.

D.      Metode Penulisan
Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode kepustakaan atau library research. Mengumpulkan sebanyak mungkin literatur yang terkait mengenai masalah yang dibahas. Dan dimana hal itu sangat di perlukan untuk menunjang penulisan makalah ini.













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Konsep Belajar penemuan Menurut Jerome Bruner
            Belajar merupakan aktifitas yang berproses, tentu didalamnya terjadi  perubahan-perubahan yang bertahap. Perubahan-perubahan tersebut timbul melalui tahap-tahap yang antara satu dan lainnya bertalian secara berurutan dan fungsional. Dalam konsep belajar penemuan menurut Jerome Bruner ada tiga episode/tahap yang ditempuh oleh siswa, yaitu: tahap informasi (tahap penerimaan materi), tahap transformasi (tahap pengubahan materi) dan tahap evaluasi (tahap penilaian materi)[4]. Dan konsep ini merupakan konsep belajar yang menentang konsep belajar aliran behavioristik.
            Nasution menjelaskan bahwa ketiga tahapan konsep penemuan Jerome Bruner tersebut saling berkaitan.
1.      Tahap informasi (tahap penerimaan materi)
      Dalam tiap pelajaran kita proleh sejumlah informasi, ada yang menambah pengetahuan yang telah kita miliki, ada yang memperhalus dan memperdalamnya, ada pula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui sebelumnya , misalnya tidak ada energy yang lenyap.
2.      Tahap transformasi (tahap pengubahan materi)
      Informasi itu harus dianalisis , diubah atau ditransformasi kebentuk yang lebih abstrakatau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Dalam hal ini bantuan guru sangat diperlukan.
3.      Tahap evaluasi (tahap penilaian materi)
Kemudian dinilai hingga manakah pengetahuan yang diproleh  dan ditransformasikan itu dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain.
            Dalam proses belajar ketiga tahapan ini selalu terdapat. Yang menjadi masalah ialah berapa banyak informasi diperlukan agar dapat ditransformasi. Lama tiap tahapan tidak selalu sama. Hal ini antara lain juga tergantung pada hasil yang diharapkan, motivasi murid belajar, minat, keinginan untuk mengetahui dan dorongan untuk menemukan sendiri[5]. Konsep ini juga menjelaskan bahwa prinsip pembelajaran harus memperhatikan perubahan kondisi internal peserta didik yang terjadi selama pengalaman belajar diberikan dikelas. Pengalaman yang diberikan dalam pembelajaran harus bersifat penemuan yang memungkinkan peserta didik dapat memperoleh informasi dan keterampilan baru dari pelajaran sebelumya[6].
            Oleh karena itu, konsep pembelajaran ini secara sadar mengembangkan proses belajar siswa yang mengarah kepada aspek jiwa dan aspek raga. Sesuai dengan pengertian belajar itu sendiri yaitu serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh perubahan tingkah ;laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan linkungannya yang menyangkut kognitif, efektif, dan psikomotorik[7].

B.     Tokoh Serta Pemikiran Belajar Penemuan  Menurut Jerome Bruner
Tokoh yang mencetuskan konsep belajar penemuan (discovery) ini yaitu Jerome Bruner beliau dilahirkan pada tahun 1915. Jerome Bruner, bertugas sebagai profesor psikologi di Universiti Harvard di Amerika Syarikat dan dilantik sebagi pengarah di Pusat Pengajaran Kognitif dari tahun 1961 sehingga 1972, dan memainkan peranan penting dalam struktur Projek Madison di Amerika Syarikat.  Setelah itu, beliau menjadi seorang profesor Psikologi di Universiti Oxford di England[8].
Jerome Bruner (1966) adalah seseorang pengikut setia teori kognitif, khususnya dalam studi perkembangan fungsi kognitif. Ia menandai perkembangan kognitif menusia sebagai berikut:
1.      Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dalam menanggapi suatu rangsangan.
2.      Peningkatan pengetahuan tergantung pada perkembangan system penyimpanan informasi secara realis.
3.      Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri sendiri atau pada orang lain melalui kata-kata atau lambang tentang apa yang telah dilakukan dan apa yang akan dilakukan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan pada diri sendiri.
4.      Interaksi secara systematis antara pembimbing, guru atau orang tua dengan anak diperlukan bagi perkembangan kognitifnya.
5.      Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif, karena bahasa merupakan alat komunikasi antara manusia. Untuk memahami konsep-konsep yang ada diperlukan bahasa. Bahasa diperlukan untuk mengkomunikasikan suatu konsep kepada orang lain.
6.        Perkembangan kognitif ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa alternative secara simultan, memilih tindakan yang tepat, dapat memberikan prioritas yang berurutan dalam berbagai situasi[9].
Teori fre discovery learning bertitik tolak pada teori belajar kognitif, yang menyatakan belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan ini tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang dapat diamati. Asumsi dasar teori kognitif ini adalah setiap orang memiliki telah memiliki pengetahuan dan penglaman dalam dirinya. Pengalaman dan pengetauan ini tertata dalam bentuk struktur kognetif. Proses belajar akan berjalan dengan baik apabila materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambungan) secara ‘klop’ dengan struktur kognetif yang sudah dimilki oleh peserta didik.
Menurut Bruner perkembangan kognetif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu tahap enaktif, ikonik dan simbolik.
1.      Tahap enaktif
Pada tahap ini anak didik melakukan aktivitas-aktivitasnya dalam usaha memahami lingkungan. Peserta didik melakukan observasi dengan cara mengalami secara langsung suatu realitas. Artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainnya.
2.      Tahap ikonik
Pada tahap ini anak didik melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).
3.      Tahap simbolik
Pada tahap ini peserta didik anak didik mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika serta komunikasi dilakukan dengan pertolongan sistem symbol. Semakin dewasa seseorang maka system symbol ini semakin dominan. Peserta didik telah mampu memahami gagasan-gagasan abstrak. Peserta didik membuatabstraksi berupa teoti-teori, penafsiran, analisis dan sebagainya terhadap realitas yang telah diamati dan dialami.
Menurut Bruner belajar untuk sesuatu tidak tidak usah ditunggu sampai peserta didik mencapai tahap perkembangan tertentu.yang penting bahan pelajaran harus ditata dengan baik maka dapat diberikan kepadanya. Dengan kata lain perkembangan kognetif seseorang dapat ditingkatkan dengan jalan mengatur bahan belajar yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Penerapan teori Bruner yang terkenal dalam pendidikan adalah kurikulum spiral dimana materi pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, tetapi disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Artinya menunutut adanya pengulangan-pengulangan. Cara belajar terbaik menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep arti, dan suatu kesimpulan (free discovery lerning). Atau dapat dikatangan sebagai belajar dengan menemukan (discovery)[10].


C.    Ciri-ciri Belajar Penemuan  Menurut Jerome Bruner
Dari penjelasan tentang kensep Belajar penemuan menurut Jerome Bruner di atas tentu teori  ini memiliki perbedaan-perbedaan dibandingkan dengan konsep atau teori belajar yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh lain. Diamana dalam konsep belajar penemuan menurut Jerome Bruner ini  seseorang anak didik tidak saja dituntut untuk bisa menerima pengetahuan saja, tapi tuntut untuk bisa mengolah dan bahkan mengevaluasi serta mengembngkan pengetahuan tersebut.  Jadi, secara umum terdapat dua ciri konsep belajar penemuan Jerome Bruner ini, yaitu:
1.      Tentang (discovery) itu sendiri merupakan ciri umum dari teori Bruner ini, diamana teori ini mengarahkan agar peserta didik mendiri dalam menemukan, mengolah, memilah dan dan mengembangkan. Berbeda dengan teori yang lain seperti teori, behavioristik yang belajar berdasarkan pengalaman tidak memperhatikan aspek kognitifnya seperti teori discovery Bruner ini.
2.      Konsep kurikulum spiral merupakan cirri khas dari teori discovery Jerome Bruner ini. Dimana dalam teorinya di tuntut adanya pengulangan-pengulangan terhadap penegetahuan yang sama namun diulang dengan pembahsan yang lebih luas dan mendalam. Seperti pengetahuan tentang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang di ajarkan pada sekolah dasar (SD) kemudian ilmu penegtahuan tersebut masih dapat diajarkan di perguruan Tinggi seperti Psikologi Belajar. Psikologi belajar merupakan pengetahuan yang sama dengan Ilmu Pengetahuan Sosial  (IPS) namun pembahasan psikologi belajar lebih mendalam.

D.    Kelebihan dan kelemhan Belajar Penemuan  Menurut Jerome Bruner
Setiap sesuatu itu memilki kelebihan dan kelemahan begitu juga dengan teori penemuan menurut Jerome Bruner. Sebagaimana dijelaskan Syaiful Bahri Djamarah, dalam bukunya Psikologi belajar, bahwa teori-teori belajar yang baru hadir di mengisi lembaran sejarah dalam dunia pendidikan,  tapi perlu dipahami setiap teori belajar tersimpan kelemahan dibalik kelebihannya[11].
            Menurut syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain dalam bukunya strategi belajar mengajar menjelaskan bahwa kelebihan dan kelemahan konsep ini yaitu belajar mengajar konsep ini sangat cocok untuk materi pelajaran yang bersifat kognetif. Kelemahannya adalah memakan waktu yang cukup banyak, dan kalau kurang terpimpin atau kurang terarah dapat menjerumus kepada kekacauan dan kekaburan atas materi yang dipelajari[12].
            Penggunaan konsep discovery ini berusaha meningkatkan aktivitas belajar, maka konsep ini memiliki keunggulan sebagai berikut:
1.      Konsep ini membantu peserta didik mengembangkan bakatnya, membentuk sifat kesiapan serta kemampuan keterampilan dalam proses kognitif peserta didik.
2.      Peserta didik memndapatkan pengetahuan yang bersifat pribadi sehingga pengetahuan tersebut dapat bertahan lama dalam diri peserta didik.
3.      Konsep ini memberikan semangat belajar peserta didik, diamana dengan konsep belajar mencari dan menemukan pengetahuan sendiri tentu rasa ingin tau itu timbul sehinnga akan membentuk belajar yang ikhlas dan aktif.
4.      Konsep ini memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menegembangkan kemampuannya dan keterampilannya sendiri sesuai dengan bakat dan hobi yang dimilikinya.
5.      Konsep ini mampu membantu cara belajar peserta didik yang baik, sehingga peserta memiliki motivasi yang kuat untuk tetap semangat dalam belajar.
6.      Memberikan kepercayaan tersendiri bagi peserta didik karena mampu menemukan, mengolah, memilah dan mengembangkan pengetahuan sendiri.
7.      Konsep ini berpusat pada peserta didik, dan guru hanya membantu saja.


Adapun kelemahan konsep belajar penmuan menurut Jerome Bruner, yaitu:
1.      Konsep belajar ini menuntut peserta didik untuk memiliki kesiapan dan kematangan mental. Peserta didik harus berani dan berkeinginan mengetahuai keadaan disekitarnya. Jika tidak memiliki keberanian dan keinginan tentu proses belajar akan gagal.
2.      Konsep ini kurang berhasil apabila di laksanakan didalam kelas yang besar.
3.      Konsep ini terlalu mementingkan proses pengertian saja, kurang memperhatikan perkembangan/pembentukan sikap dan keterampila bagi peserta didik.
4.      Konsep ini mungkin tidak memberikan kesempatan untuk bepikir secara kretaif[13].
            Dari beberapa penjelasan tentang kelebihan dan kelemahan konsep penemuan menurut Jeromi Bruner, tentu kita harus mampu mempergunakan konsep belajar ini sesuai dengan keadaan dan tempatnya, sehingga nantinya dapat memaksimalkan penggunaaan konsep ini dan tidak terjadinya kegalalan pembelajaran karena salah dalam penggunaannya.

E.     Implikasi Konsep Belajar Penemuan Menurut Jerome Bruner Dalam Kegiatan Pembelajaran.
Meneurut Syiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain impliklasi konsep belajar discovery dalam  pembelajaran yaitu:
1.      Simulation, guru mulai bertanya dengan mengajukan persoalan, atau menyuruh anak didik untuk membaca atau mendengarkan uraian yang memuata uraian permasalahan.
2.      Problem Statement, anak didik diberi kesempatan mengidentifikasi berbagai permasalahan.  Sebagian besar memilihnya yang dipandang paling menarik dan fleksibel untuk dipecahakan. Permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan (statemen) sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang di ajukan.
3.      Data collection, Untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis ini, anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (Collection) berbagai informasi yang relavan, membaca literature,m mengamati obyek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji coba sendiri, dan sebagainya.
4.      Data prossesing. Semua informasi hasil bacaan, wawancara observasi, dan sebagainya, semunya diolah, diacak, diklasifikasikn, ditabulasi, bahkan apabila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu.
5.      Verfication, atau pembuktian. Berasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
6.      Generalization. Tahap selanjutnya berdasarkan verfikasi tadi, anak didik belajar menarik kesimpulan atau generalisasi tertentu.
System belajar yang dikembangkan Brunner ini menggunakan landasan pemikiran pendekatan belajar mengajar. Hasil belajar cara ini lebih mudah dihapal dan diingat, mudah dtransfer untuk memecahkan masalah. Pengetahuan dan kecakapan anak didikbersangkutan lebih jauhdapat menumbuhkan motivasi instrik, karena anak merasa puas atas penggunaannya sendiri[14].   
            Kemudian Oemar Halik dalam bukunya perencanaan  Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, menjelaskan konsep belajar penemuan Jerome Bruner dapat diaplikasikan dalam pembelajaran dalam bentuk pendekatan komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah, tergantung pada besarnya kelas.
1.      Sistem satu arah (ceramah Reflektif)
      Pendekatan satu arah berdasarkan penyajian satu arah (penuangan/expotision) yang dilakukan oleh guru. Struktur penyajiaannya dalam bentuk usaha merangsang siswa melakukan proses penemuan (discovery) didepan kelas. Guru mengajukan suatu masalah, dan kemudian memecahkan masalah-masalah tersebut melalui discovery. Caranya adalah mengajukan pertanyaan kepada kelas, memberikan kesempatan kepada kelas untuk melakukan refleksi. Selanjutkan guru menjawab sendiri pertanyaan yang diajukan itu. Dalam prosedur ini guru tidak menentukan/menunjukkan aturan-aturan yang harus digunakan oleh siswa. Guru mengharapkan agar siswa secara keseluruhan berhasil melibatkan dirinya dalam proses pemecahan masalah, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya secarareflektif. Dalam eadaan ini, sesungguhnya tidak ada jaminan bahwa adanya penyajian oleh guru. Penggunaan discovery dalam kelompok kecil sangat bergantung pada kemampuan dan pengalaman guru sendiri, serta waktu dan kemampuan mengantisifikasi kesulitan siswa.
2.      Sistem dua rah (discovery terbimbing)
      System dua arah melibatkan siswa dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan guru. Siswa melakukan discovery, sedangkan guru membimbing mereka kearah yang tepat/benar. Sekalipun di dalam kelas yang terdiri dari 20-3o orang siswa. Hanya beberapa orang saja yang benar-benar melakukan discovery, sedangkan yang lainnya berpartisipasi dalam proses discovery misalnya dalam system ceramah reflektif. Dalam kelompok yang lebih kecil, guru dapat melibatkan hamper semua siswa dalam prose situ. Dalam system ini guru perlu memilki keterampilan memberikan bimbingan, yakni mendiagnosis kesulitan –kesulitan siswa dan memberikan bantuan dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Namun demikian, tidak berarti guru menggunakan metode ceramah reflektif sebagaimana halnya pada strategi diatas[15].
Adapun Menurut Ahmad Sabri pendekatan ini merupakan pendekatan mengajar yang mberusaha meletakkan dasar dan mengembangan berpikir cara ilmiah. Pendekatan ini menempatkan siswa lebih banyak belajar sendiri, mengembangkan kreatifitas dalam memecahkan masalah. Siswa betul-betul ditempatkan sebagai subyek yang belajar. Peranan guru dalam pendekatan ini adalah pembimbing belajar dan fasilitator belajar. Tugas utama guru adalah memilih masalah yang perlu dilontarkan kepada kelas untuk dipecahkan oleh siswa sendiri. Tiugas beriutnya dari guru adlah menyediakan sumber belajar bagi siswa dalam memecahkan masalah. Sudah tentu bimbingan dan pengawasan dari guru masih tetap diperlukan, namun campur tangan interverensi terhadap kegiatan siswa dalam pemecahan masalah, harus dikurangi.
Pendekatan ini merupakan pendekatan modern, yang sangat didambakan untuk dilaksanakann disetiap sekolah. Adanya tuduhan sekolah menciptakan kultur bisu, tiak akan terjadi apabila pendekatan inidigunaka. Selanjutnya Ahmad Sabri menambahkan bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pendekatan ini.
a.       Guru harus terampil memilih persoalan yang relavan untuk diajukan kepada kelas (persoalan yang bersumber dari bahan pelajaran yang menantang siswa/problematik) dan sesuai dengan nalar siswa.
b.      Guru harus terampil menumbuhkan motivasi belajar siswa dan penciptaan situasi belajar yang menyenangkan.
c.       Adanya faslitas dan sumber belajar yang cukup lengkap sehingga dapat memfalisitsi pendekatan ini.
d.      Adanya kebebasan siswa untuk berpendapat, berkarya dan berdiskusi.
e.       Partisipasi seto\iap siswa dalam setiap kegiatan belajar, dan
f.       Guru tidak banyak campurtangan dan intervensi terhadap kegiatan siswa.
Serta ada lima tahapan yang ditempuh dalam melaksanakan pendekatan ini, yakni:
a.       Merumuskan masalah untuk dipecahkan siswa.
b.      Menetapkan jawaban sementara atau yang lebih lebih dikenal dengan istilah hipiotesis.
c.       Siswa mencari informasi, data fakta yang diperlukan untuk menjawab permasalahn atau hipotesis.
d.      Menarik kesimpulan jawaban atau generalisasi.
e.       Mengaplikasikan kesimpulan atau generalisasi dalam situasi baru[16].
Dari beberapa penjelasan para pakar tentang bagaimana pengaplikasian konsep penemuan menurut Jerome Bruner diatas, tentu dapat dipahami bahwa ada beberapa hal yang benar-benar harus disiapkan dalam pengaplikasian. Karena konsep ini dalam pengpliksiannya di dalam pembelajaran memerlukan persiapan dari segi fsilitas, guru dan juga muridnya.



















BAB III
KESIMPULAN

Menurut Bruner perkembangan kognetif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu tahap enaktif, ikonik dan simbolik yaitu, tahap enaktif, tahap ikonik dan tahap simbolik.
Ada tiga tahapan konsep penemuan Jerome Bruner tersebut saling berkaitan. Yaitu:
1.      Tahap informasi (tahap penerimaan materi)
2.      Tahap transformasi (tahap pengubahan materi)
3.      Tahap evaluasi (tahap penilaian materi)
Secara umum terdapat dua ciri konsep belajar penemuan Jerome Bruner ini, yaitu:
1.      Tentang (discovery) itu sendiri merupakan ciri umum dari teori Bruner ini, diamana teori ini mengarahkan agar peserta didik mendiri dalam menemukan, mengolah, memilah dan dan mengembangkan. Berbeda dengan teori yang lain seperti teori, behavioristik yang belajar berdasarkan pengalaman tidak memperhatikan aspek kognitifnya seperti teori discovery Bruner ini.
2.      Konsep kurikulum spiral merupakan cirri khas dari teori discovery Jerome Bruner ini. Dimana dalam teorinya di tuntut adanya pengulangan-pengulangan terhadap penegetahuan yang sama namun diulang dengan pembahsan yang lebih luas dan mendalam.
Kelebihan dan kelemahan konsep ini yaitu belajar mengajar konsep ini sangat cocok untuk materi pelajaran yang bersifat kognetif. Kelemahannya adalah memakan waktu yang cukup banyak, dan kalau kurang terpimpin atau kurang terarah dapat menjerumus kepada kekacauan dan kekaburan atas materi yang dipelajari
Impliklasi konsep belajar discovery dalam  pembelajaran yaitu: Simulation, Problem Statement, Data collection, Data prossesing, Verfication, atau pembuktian. Generalization.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar dan  Micro Teaching, Ciputat, Quantum Teaching, 2005.
Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta, Rienika Cipta, 2005.
Bambang Warsita, Teknologi Pembelajaran Landasan dan Aplikasi, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2008.
Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2005.
http://arifwidiyatmoko.wordpress.com/2008/07/29/%E2%80%9Djerome-bruner-belajar-penemuan%E2%80%9D/
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Nasution, Berbagai pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2006.
Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran berdasarkan Pendekatan Sistem, Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2006.
Roestiyah N.K., Strategi Belajar Mengajar, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2001.
Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2008
                                       dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2002.



[1] Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: Pt. Rineka Cipta, 2005), cet. ke-4, h.1-2
[2] Syaiful Bahri Djamarah, Psikologi Belajar,(Jakarta: PT. Rineka Cipta,2008), cet. ke-2, h. 12
[3] Ibid, h. 17
[4] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 109-110
[5] Nasution, Berbagai pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), cet. ke-10, h. 9-10
[6] Bambang Warsita, Teknologi Pembelajaran Landasan dan Aplikasi, ( Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008),  h. 91
[7] Syaiful Bahri Djamarah,  Op. Cit., h. 13
[8] http://arifwidiyatmoko.wordpress.com/2008/07/29/%E2%80%9Djerome-bruner-belajar-penemuan%E2%80%9D/

[9] Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran (Jakarta: Rienika Cipta, 2005), Cet ke 1, h. 40-41
[10] Bambang Warsita, Op. Cit., h.71-72
[11] Syaiful Bahri Djamarah,  Op. Cit., h. 17
[12] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002) cet, ke-2, h. 23
[13] Roestiyah N.K., Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001), cet. ke-6, h. 21
[14] Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Op. Cit., h. 22-23
[15] Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran berdasarkan Pendekatan Sistem, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), cet. ke-5, h. 187-188
[16] Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar dan  Micro Teaching, (Ciputat: Quantum Teaching, 2005), h.12-13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar