Senin, 29 Oktober 2012

TAFSIR DAN TAKWIL AL QURAN



A.      Pendahuluan
            Al-Qur'an diturunkan Allah pada bangsa Arab pada watu Nabi Muhammad kira-kira berusia 40 tahun sampai Nabi Muhammad wafat pada usia kira-kira 63 tahun. Sehingga al Qur’an pada masa hidup nabi ini pertama kali diperkenalkan kepada umat manusia, terutama bangsa Arab selama 23 tahun. Pengenalannya pun dengan menggunakan bahasa Arab supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh umat manusia yang pertama mengenal, tentang maksud dan substansi al-Quran tersebut, hal ini seagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an Surah Fussilat Ayat 3 dan 44, al-Zukhruf ayat 3, Ibrahimayat 4, serta Asy Syu’ara’ ayat 192-195.[1][1]
            Dari abad 6 masehi tersebut sampai sekarang, al-Qur’an tersebut mengenal dan menjadi pedoman umat manusia diseluruh dunia. Dimana perkembangan tersebut berbarengan dengan keadaan umat manusia didunia ini memilki alat komunikasi yang berbeda-beda, begitu juga dengan budaya, fisikologis, pendidikan, dan sosial. Selain itu dengan bertambahnya umur dunia, tidak dapat kita pungkiri bahwa dari bahasa orang Arab sendiri pun juga mengalami perubahan. Sehingga kita tidak bisa menyamakan bahasa Arab sekarang dengan bahasa Arab pada masa sekarang.
            Apalagi kita ketahui bahwa, bangsa Arab yang pertama kali menerima al-Qur’an pada masa Nabi, masih ada dari beberapa ayat yang belum dapat dimengerti. Dari keadaan ini lah, bagaimana umat manusia, baik yang dari bangsa Arab ataupun yang bukan bangsa Arab, pada masa Nabi atau pada masa sekarang harus melakukan penafsiran terhadap al-Quran. Hal ini dilakukan agar maksud dan substansi al-Qur’an dapat ditangkap dengan lebih baik.
Perkembangannya muncullah ilmu tafsir, dimana ilmu tersebutpun terus berkembang. Dan dewasa ini pola interaksi kaum muslim dengan al-Qur'anpun bukan hanya bercorak hudâ'iy, ijtimâ'iy dan ishlâhiy (mencari petunjuk untuk kebahagiaan), tetapi juga 'ilmiy (dalam pengertiannya yang luas mencakup intellectual exercise, tidak hanya mencari pembenaran teori-teori sains dengan landasan ayat suci al-Qur'an). Bahkan cenderung filosofis murni dan tak ada kaitannya dengan misi transformatif yang menjadi ciri utama kehadiran Al-Qur'an di pentas kehidupan manusia.[2][2]


Sejauh mana posisi dan peran manusia dalam proses penafsiran, apakah tugasnya hanya menganalisa dan kemudian menerima otoritas tafsir di era pembentukannya ataukah hanya melibatkan pengetahuan dan pengalaman penafsir/pembaca teks sebagai barometer dan menganggap penafsiran otoritas di masa lalu hanya berlaku untuk saat itu (historisitas)? Apakah tugas penafsir kitab suci diarahkan semata untuk menangkap maksud pemilik dan pencipta teks ataukah justru bebas menciptakan maksud dan makna baru seiring dengan jarak waktu yang memisahkan antara pengarang dan pembaca teks, bahkan "kematian" pengarang dianggap "berkah" untuk melahirkan makna-makna segar yang tidak terkungkung oleh kehendak dan maksud pengarangnya?
            Oleh karena itu, makalah berikut ini sekadar mengingatkan kembali apa itu pengertiantafsir dan takwil dan apa perbedaannya. Serta bagaimana penafsiran dan penakwilan itu.

Tafsir menurut bahasa adalah Idhah dan tabyin (menerangkan/menjelaskan)”. Kata tafsir diambil dari kata fassara yufassiru tafsiiran ( تفســير ) berasal dari kata فَسَّرَ yang berarti keterangan atau uraian, hal ini sesuai dengan kata tafsir dalam Q.S. Furqon ayat 33.
اوَلَا يَأۡتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئۡنَـٰكَ بِٱلۡحَقِّ وَأَحۡسَنَ تَفۡسِيرً

Artinya: “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu perumpamaan, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya (QS. 25:33).[3][3]
Al-Jurjani berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa al-kasyf wa al-izhar yang artinya menyingkap dan melahirkan.[4][4] Sedangkan menurut Rif’at Syauqi Nawawi dan Muhammad Ali Hasan yang dikutip Abu Anwar, Tafsir berasal dari kata tafsirah, yaitu : perkakas yang dipergunakan dokter untuk mengetahui orang sakit.[5][5]
Menurut penulis, secara umum, mengenai pengertian Tafsir secara bahasa ini tidak ada masalah, karena pada intinya arti secara bahasa adalah menyingkapkan, menjelaskan, menerangkan, memberikan perincian atau menampakkan.
2.      Pengertian Tafsir menurut Istilah
Dalam buku M.Hasby Ash-Shiddiqy (Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir) dijelaskan 4 pendapat ulama tafsir, tentang pengertian tafsir menurut istilah, pendapat-pendapat tersebut yakni:
a.    Tafsir menurut Al-Kilab dalam at-Tashil adalah menjelaskan al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat atau tujuan.
b.    Menurut Syaikh Al-Jazairi tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan kata yang sukar dipahami oleh pendengar sehingga berusaha mengemukakan sinonimnya atau makna yang mendekatinya atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalahnya.
c.    Menurut Abu Hayyan tafsir adalah mengenai cara pengucapan kata-kata Al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hokum dan makna yang terkandung didalamnya.
d.   Menurut Al-Zarkasyi tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW, serta menyimpulkan kandungan hukum dan hikmahnya.[6][6]
Dari pengertian diatas penulis sependapat dengan pendapat M. Hasby Ash Shiddiqy bahwa faedah mempelajari ilmu tafsir yakni terpeliharanya dari salah memahami al-Qur’an.
Secara etimologi, menurut Ibnu Manzhur dalam Lisan al-Arab, yang dikutip Abdurrahman Mardafi, Takwil berasal dari kata آلَ  يَؤُوْلُ  أَوْلٌ (الأَوْلُ yang artinya الرجوع (kembali)[7][7] dan العاقبة (akibat atau pahala),[8][8] seperti firman Allah dalam QS. An-Nisa': 59:
ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya: “Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" dan hadith من صام الدهر فلا صام ولا آل (Barangsiapa yang berpuasa sepanjang masa, maka berarti ia tidak berpuasa dan tidak ada balasannya). Sedangkan isim makan dan zamannya adalah موئلا atau الموئل yang berarti المرجع tempat kembali, seperti dalam QS. Al-Kahfi: 58. Ada juga yang mengatakan bahwa kata " أَوَّلَ " yang berarti   الرجوع   إليه و يعتمد عليه (kembali dan bersandar kepadanya), juga memberi pengertian unggul dan memiliki pengikut, seperti dalam firman Allah QS. At-Taubah:108 dan Al-An'am: 163. Kata أَوَّلَ digunakan karena sesudahnya kembali dan bersandar kepadanya.[9][9]
4.      Pengertian Takwil Menurut Istilah
Sedangkan dalam terminologi Islam, Ibnu Manzhur menyebutkan dua pengertian Takwil secara istilah dalam Lisan Al-Arab yang dikutip Abdurrahman Mardafi pertama, Takwil adalah sinonim (muradhif) dari tafsir. Kedua, Takwil adalah memindahkan makna zhahir dari tempat aslinya kepada makna lain karena ada dalil.[10][10]
Al-Jurjani dalam kamus istilahnya yang terkenal At-Ta'rifat, yang dikutip Abdurrahman Mardafi menyatakan "Takwil secara bahasa bermakna kembali, sedangkan secara istilah bermakna mengalihkan lafazh dari maknanya yang zhahir kepada makna lain (batin) yang terkandung di dalamnya, apabila makna yang lain itu sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah".[11][11]
 Ibnu Al-Jawzi dalam bukunya Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah yang dikutip Abdurrahman Mardafi yang dikutip Abdurrahman Mardafi mengatakan bahwa, "Takwil adalah mengalihkan lafazh ambigu (muhtamal) dari maknanya yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena adanya dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh pembicara adalah makna yang lemah".[12][12]
Imam Haramain Al-Juwaini dalam bukunya Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh yang dikutip Abdurrahman Mardafi berkata, "Takwil adalah mengalihkan lafazh dari makna zhahir kepada makna yang dimaksud (esoteris) dalam pandangan penTakwil".[13][13]
Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul yang dikutip Abdurrahman Mardafi mengatakan, "Takwil adalah sebuah ungkapan (istilah) tentang pengambilan makna dari lafazh yang ambigu (muhtamal) dengan didukung dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir".[14][14]
Abu Al-Hasan Al-Amidi Rahimahullah salah seorang ulama ushul dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam yang dikutip Abdurrahman Mardafi mengatakan, "Takwil adalah mengalihkan lafazh yang muhtamal  dari makna zhahirnya berdasarkan dalil yang menguatkannya".[15][15]  
Ibnu Taimiyah dalam bukunya Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Takwil yang dikutip Abdurrahman Mardafi menyatakan bahwa ulama mutaqaddimin (salaf) berpendapat bahwa Takwil merupakan sinonim dari tafsir, sehingga hubungan (nisbat) diantara keduanya adalah sama. Abdurrahman Mardafi menambahkan Seperti yang digunakan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya Jami' Al-Bayan fi Takwil Ayat Al-Qur'an; Takwil dari ayat ini adalah demikian, para ulama berbeda pendapat tentang Takwil ayat ini. Kata Takwil yang dimaksudkan oleh beliau adalah tafsir. Sedangkan Takwil menurut ulama mutaakhkhirin (khalaf) dari kalangan ulama ushul, kalam, dan tashawwuf adalah mengalihkan makna lafazh yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh), karena ada dalil yang menyertainya.[16][16]
[1] 
Tentang perbedaan tafsir dan Takwil ini  banyak pendapat ulama yang pendapat tentang ini,dan pendapat ulama itu tidak sama dan bahkan ada yang jauh perbedaan satu sama lain, diantara pendapat-pendapat tersebut adalah;
Ibnu Faris yang dikutip Abdurrahman Mardafi menyatakan bahwa maksud sebuah ungkapan tidak lepas dari tiga hal; makna, tafsir, dan Takwil. Meskipun berbeda dari segi istilah, namun maksud dari ketiganya saling berdekatan dan terkait. Makna adalah maksud dan tujuan dari sebuah perkataan. Sedangkan tafsir, menyingkap maksud yang tersembunyi dari sebuah ayat. Adapun Takwil, mengalihkan lafazh dari suatu makna kepada makna lain yang dikandungnya.[17][17]
Ar-Raghib Al-Isfahani yang dikutip Abdurrahman Mardafi mengatakan, "Tafsir lebih umum dari pada Takwil. Tafsir lebih banyak digunakan kepada lafazh-lafazh, sedangkan Takwil lebih banyak digunakan kepada makna-makna, seperti Takwil mimpi. Takwil juga lebih banyak digunakan dalam kitab-kitab suci, sedangkan tafsir banyak digunakan untuk menemukan makna kata-kata dalam sebuah ucapan".[18][18]
Abdurrahman Mardafi menambahkan dari pendapat Az-Zarkasyi bahwa, tafsir dalam istilah para ulama adalah menyingkap atau menemukan makna-makna Al-Qur'an dan menjelaskan maksudnya, ia lebih umum dari Takwil yang hanya sekedar membahas lafazh-lafazh yang ambigu atau makna yang zhahir atau permasalah lafazh lainnya. Tafsir lebih banyak digunakan dalam kalimat-kalimat. Selain itu, tafsir juga membahas lafazh-lafazh yang asing. Sedangkan Takwil, terkadang menggunakan lafazh umum dan terkadang lafazh khusus. Seperti kata kufur yang terkadang diartikan ingkar dalam arti yang umum, terkadang juga digunakan untuk pengingkaran terhadap Allah Azza wa Jalla dalam arti yang khusus, dan kata iman yang terkadang diartikan mempercayai (tashdiq) dalam arti yang umum, terkadang juga digunakan untuk membenarkan kebenaran, baik dalam lafazh ambigu yang memiliki beberapa makna.
Al-Bajili yang dikutip Abdurrahman Mardafi mengatakan bahwa tafsir berkaitan dengan riwayah (riwayat) sedangkan Takwil berkaitan dengan dirayah (ilmu pengetahuan). Abdurrahman Mardafi menambahakan hal serupa dinyatakan oleh Abu Nasr Al-Qushairy, "Tafsir terbatas hanya pada mengikuti dan mendengar (riwayat), sedangkan istimbath (kesimpulan) merupakan bagian dari Takwil. Ini juga pendapat Abu Manshur Al-Maturidi, sehingga ia menyimpulkan bahwa tafsir berlaku untuk para sahabat sedangkan Takwil untuk para fuqaha' (ulama). Sebab, para sahabat adalah orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu dan mendengar langsung dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam serta mereka tidak akan berbicara tanpa ilmu.[19][19]
Menurut Abdurrahman Mardafi sendiri Takwil adalah hakekat luar (haqiqah kharijiyah) dari sebuah ayat, sedangkan mengetahui tafsir dan maknanya adalah mengetahui gambaran sebuah ayat secara ilmiah, karena Allah Azza wa Jalla menurunkan Al-Qur'an agar dipahami, dimengerti, direnungkan, dan dipikirkan baik ayat yang muhkamat maupun yang mutasyabihat meskipun tidak diketahui Takwilnya.[20][20]
Takwil merupakan bagian dari tafsir, jika tafsir menyingkap tabir makna dari sebuah lafazh, maka Takwil menemukan makna dari lafazh yang ambigu setelah tabir tersingkap. Jadi, Takwil dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir. Tafsir menyingkap tabir makna dari lafazh yang tersirat (implisit) sedangkan Takwil menemukan makna batin (esoteris) dari lafazh yang eksplisit (tersurat) atau ambigu (mutasyabih).[21][21]
Mengenai perbedaan ini ada yang menyimpulkan bahwa perbedaan tafsir dan takwil adalah sebagai berikut:
1.      Tafsir lebih banyak digunakan pada lafas dan mufradat sedangkan takwil lebih banyak digunakan pada jumlah dan makna-makna.
2.      Tafsir apa yang bersangkutan paut dengan riwayah sedangkan Takwil apa-apa yang bersangkutan paut dengan dirayah.
3.      Tafsir menjelaskan secara detail sedangkan Takwil hanya menjelaskan secara global tentang apa yang dimaksud dengan ayat itu.
4.      Takwil menjabarkan kalimat-kalimat dan menjelaskan maknanya sedangkan tafsir menjelaskan secara dengan sunnah dan menyampaikan pendapat para sahabat dan para ulama dalam penafsiran itu.
5.      Tafsir menjelaskan lafas yang zahir ,adakalanya secara hakiki dan adakalanya secara majazi sedangkan Takwil menjelaskan lafas secara batin atau yang tersembunyi yang diambil dari kabar orang orang yang sholeh.[22][22]

 D.    Tafsir
Berdasarkan sumber penafsirannya, tafsir terbagi kepada dua bagian: Tafsir Bil-Ma’tsur dan Tafsir Bir-Ra’yi.[23][23] Namun sebagian ulama ada yang menyebutkannya tiga bagian.
1.      Tafsir Bilma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Al-Qur’an dan/atau As-Sunnah sebagai sumber penafsirannya.
2.      Tafsir Bir-Ra’yi adalah Tafsir yang menggunakan rasio/akal sebagai sumber penafsirannya.
3.      Tafsir Bil Isyarah, Penafsiran al-Qur’an dengan firasat atau kemampuan intuitif yang biasanya dimiliki oleh tokoh-tokoh shufi, sehingga tafsir jenis ini sering juga disebut sebagai tafsir shufi.[24][24]
Berdasarkan corakm penafsirannya, kitab-kitab tafsir terbagi kepada beberapa macam. Di antara sebagai berikut: Tafsir Shufi/Isyari, Tafsir Fiqhy, Tafsir Falsafi, TafsirIlmi, Tafsir al-Adab al-Ijtima’i.[25][25]
Macam-macam Tafsir berdasarkan metodenya yakni, Metode Tahlily (metode Analisis), Metode Ijmaly (metode Global), Metode Muqaran (metode Komparasi/Perbandingan), Metode Maudhu’i (metode Tematik)[26][26]
Sedangkan Ilmu-ilmu yang diperlukan oleh Seorang Penafsir menurut Imam As-Suyuthi yang dikutip oleh M. Ali Ash-Shabuni: Mengetahui bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya, Mengetahui ilmu balaghah,Mengetahui ilmu ushul fikih, Mengetahui Asbabun Nuzul, Mengetahui Nasikh dan mansukh, Mengetahui Qiraat, dan Memilki bakat dan keahlian[27][27]
 
E.     Takwil
1.     Dalil Takwil
Menurut para ulama, ada bentuk dalil-dalil yang digunakan untuk merajihkan makna esoteris (makna marjuh) dari pada makna zhahir.
a.       Nash Al-Qur'an dan As-Sunnah; seperti firman Allah tentang keharaman bangkai (hewan sembelihan yang tidak menyebut nama Allah) dalam QS. Al-Maidah: 3). Ayat ini menerangkan keharaman segala sesuatu dari bangkai, termasuk kulitnya. Namun ada hadith bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat tentang kambing milik Maimunah Radhiyallah 'anha yang mati yang akan dibuang, "Kenapa kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan manfaatkan?", para sahabat menjawab, "Tapi ini bangkai?", beliau menjawab, "Yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya". Dalil dari hadith ini mengalihkan sebuah lafazh dari makna zhahirnya.
b.      Ijma'; seperti firman Allah dalam QS.Al-Jumu'ah: 9, mengenai erintah shalat jumat,  secara zhahir ayat ini berlaku kepada semua orang beriman baik laki-laki, perempuan, orang yang merdeka, budak, maupun anak-anak. Tetapi ijma' mengecualikan anak-anak yang belum baligh.
c.       Qiyas; diantara para ulama ada yang mensyaratkan harus dengan qiyas jaly, seperti qiyas budak laki-laki pada budak perempuan dalam hal pembebasannya, sedangkan qiyas fariq tidak berlaku. Hikmah Tasyri' dan kaidah-kaidah dasar syari'at; seperti kewajiban zakat dari empat puluh ekor kambing dengan satu ekor (فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ). Menurut ulama Syafi'iyah, membayar dengan seekor kambing sesuai dengan zhahir lafazh hadith dan tidak boleh menggantinya dengan uang (ikhrajal-qiymah) karena lafazhnya jelas, khusus, dan qath'i. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, boleh menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiymah) karena hikmah dari mengeluarkan zakat adalah mencukupi kebutuhan orang-orang faqir dan uang lebih bermanfaat untuk mencukupi segala kebutuhan mereka serta lebih sesuai dengan keinginan syari'at. [28][28]
Dalam kaitannya dengan masalah makna, seorang mujtahid ketika akan mengalihkan lafazh dari makna yang kuat kepada makna yang lemah harus memperhatikan hal-hal berikut;
a.       Makna lughawi bahasa Arab, seperti kata shalat yang berarti do'a, zakat yang berarti penyucian, dan shaum yang berarti menahan.
b.      Istilah-istilah syar'i; kata yang memiliki pengertian khusus dalam syar'i, sehingga makna kata tersebut harus dikembalikan kepada makna syar'i bukan kepada makna lughawi (bahasa).
c.       Istilah dalam urf (kebiasaan), baik urf  yang bersifat umum seperti kata الدابة untuk makhluk yang berkaki empat (melata) atau kata الغائط untuk kotoran, maupun urf  yang bersifat khusus seperti istilah-istilah dalam ilmu nahwu, fiqh, hadith, dan ilmu-ilmu lainnya.[29][29]
Selain memperhatikan tiga hal di atas, dalam mengalihkan lafazh dari makna yang kuat kepada makna yang lemah juga harus mengembalikan kepada makna yang dekat atau berdasarkan dalil.
Para ulama ushul merupakan kelompok yang paling mendalami kajian ayat-ayat Al-Qur'an, bila dibandingkan dengan kelompok disiplin ilmu lainnya. Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan pengambilan hukum (istimbath al-ahkam). Sehingga kajian para ulama ushul merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk Takwil, diantaranya mengkhususkan lafazh yang umum (takhshishal-umum), membatasi lafazh yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki kepada yang majazi, atau dari makanya yang mengandung wajib menjadi makna yang sunnah.[30][30]  
Allah Azza wa Jalla menurunkan Al-Qur'an dengan dua macam ayat; muhkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksud dan maknanya. Sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan perkara-perkara gaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain. Secara umum, ayat-ayat mutasyabihat merupakan objek kajian Takwil (majaal al-Takwil).
Lebih spesifik lagi Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul dalam Syarh Muqaddimah fi Ushul Tafsir Ibnu Taimiyah yang dikutip Abdurrahman Mardafi menyatakan bahwa, mantuq memiliki lima macam; nash, zhahir, muawwal, dalalah iqtidha', dan dalalah isharah.[31][31] Maka nash dan zhahir adalah bagian dari pembahasan tafsir, sedangkan muawwal, dalalah iqtidha', dan dalalah isharah adalah bagian dari pembahasan Takwil.[32][32]  
Ash-Shaukani dalam Irsyadul Fuhul yang dikutip Abdurrahman Mardafi menjelaskan bahwa ada dua ruang lingkup Takwil (majaal al-Takwil); Pertama, kebanyakan dalam masalah-masalah furu', yakni dalam nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariah. Takwil dalam ruang lingkup ini tidak diperselisihkan lagi mengenai bolehnya di kalangan ulama. Kedua, dalam masalah-masalah ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan masalah aqidah. Seperti, nash tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla, bahwa Allah memiliki tangan, wajah, dan sebagainya. Selain itu, termasuk juga huruf muqattha'ah di permulaan surat-surat.[33][33]
Selain menetapkan aturan dalam menTakwil, para ulama juga menetapkan beberapa persyaratan bagi orang yang ingin melakukan Takwil terhadap ayat-ayat Al-Qur'an dengan kriteria yang cukup ketat, yang juga merupakan kriteria bagi seorang mujtahid dan mufassir;
a.       Memiliki ilmu tentang Al-Qur'an; mengetahui dan mengusai ayat-ayat Al-Qur'an terutama ayat-ayat hukum dan tidak disyaratkan harus menghafalnya.
b.      Memiliki ilmu tentang As-Sunnah; mengetahui dan mengusai hadith-hadith hukum dan mampu menyebutkannya, serta membedakannya mana yang shahih dan mana yang dhaif, mengetahui nasikh dan mansukh, mengetahui ijma', dan perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
c.       Mengusai ilmu ushul fiqh sebagai modal ijtihad.
d.      Mengusai bahasa Arab dengan baik dan mengetahui makna-makna dari setiap katanya, karena Takwil-Takwil batil kebanyakan berasal dari orang ajam yang tidak mengusai bahasa Arab.
e.       Mengetahui maqashid shari'ah dengan baik.
f.       Beraqidah yang lurus, terpercaya, dan wara'.[34][34]

F.     Penutup
Tafsir dan takwi bagi ulama mukaddimin memilki makna yang sama, namun paka ulama muakhirin memiliki makna yang berbeda dimana takwil adalah mengungkap dan memilih makna dari lafazh ambigu yang memiliki pluralitas makna. Sedangkan tafsir hanyalah menjelaskan sesuai dengan bahasa yang ada.
Walaupun demikian kebanyakan ulama berpandangan bahwa takwil berbeda dengan hermeneutika. Walaupun difini hermeneutika yang disampaikan Paul Ricour merupakan hermeneutika yang paling dekat dengan difinisi Takwil. Namun tetap saja berbeda, dimana perbedaannya yaitu takwil merupakan usaha untuk memilih dan menetapkan makna dari lafazh yang ambigu, sedangkan hermeneutika juga merupakan usaha mengungkap makna yang masih terselubung dari lapisan makna yang terkandung dalam suatu kata. Padahal, hal ini berbeda dengan konsep Takwil dalam Islam. Takwil dilakukan jika ada dalil yang mengalihkan makna lafazh dari yang eksoteris (zhahir) kepada makna esoteris (batin). Sedangkan hermeneutika tidak memperhatikan makna eksoteris (zhahir) dan langsung kepada makna esoteris (batin). Menurut Abdurrahman hal itu karena hermeneutika merupakan metode tafsir bible yang tidak memperhatikan zhahir teks karena bible memiliki masalah dalam otentisitas teksnya. Berbeda dengan Takwil yang harus memperhatikan zhahir nash karena Al-Qur'an tidak memiliki masalah otentisitas teks sebagaimana bible.
            Menurut penulis konsep tafsir dan takwil yang ada dalam Islam memiliki keunggulan, dimana keunggulannya yakni tetap memberikan hak priogratif terhadap al-Quran untuk memberikan makna dari segi teks. Walaupun juga memiliki kelemahan apabila terjadi pertentangan keadaan temapat dan waktu.

 G. DAFTAR PUSTAKA




ArisNurbawani, Tugas Ulumul Qur'an dan Hadits ~ STAIL PP Hidayatullah Surabaya,2006. _home_www_aysia.freefronthost.com_data_tafsir-takwil.


http//aadesanjaya.blogspot.com/2009/






[1][1] ‘Ali Hasan Al-‘Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, penerjemah: Ahmad Akrom, dari judul asli “Tarikh ‘Ilm al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin”, (Jakarta: Rajawali, 1992), h. 10-12
[2][2] Aris Nurbawani, Tugas Ulumul Qur'an dan Hadits ~ STAIL PP Hidayatullah Surabaya, 2006. _home_www_aysia.freefronthost.com_data_tafsir-takwil. di akses pada tanggal  7  Desember 2011 pukul 09.13 pm
[3][3] M. Hasby Ash-Shiddiqy, Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (semarang Pustaka Rezeki Putra, 2002), h. 208
[4][4] http//aadesanjaya.blogspot.com/2009/ di akses pada tanggal  7  Desember 2011 pukul 08.07 pm
[5][5] Abu Anwar, Ulumul Qur’an; Sebuah Pengantar, (                     : Amzah, 2005)cet. ke-2, h. 98
[6][6] M. Hasby Ash-Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), cet. ke-8, h. 192-193
[8][8] Ibid
[9][9] Ibid
[10][10] Ibid
[11][11] Ibid
[12][12] Ibid
[13][13] Ibid
[14][14] Ibid
[15][15] Ibid
[16][16] Ibid
[17][17] Ibid
[18][18] Ibid
[19][19] Ibid
[20][20] Ibid
[21][21] Ibid
[22][22] Op cit., http//aadesanjaya.blogspot.com/2009/ di akses pada tanggal  7  Desember 2011 pukul 08.07 pm
[23][23]Ibid
[24][24] Ibid
[25][25] Ibid
[26][26] Ibid
[27][27] M. Ali Asy-Syabuni, At-Tibyan Fi Ulumil Qur’an, “penerjemah; M. Qodirun Nur, dengan judul: Ikhtisyar Ulumul Qur’an Praktis”, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), h.256
[29][29] Ibid
[30][30] Ibid
[31][31] 1) Nash adalah lafazh yang memiliki makna yang jelas dan tidak memiliki makna yang lain.
2) Zhahir adalah adalah lafazh yang memiliki makna lain tapi lemah, seperti kata al-baghi yang memiliki dua arti yaitu ungkapan untuk orang yang bodoh dan orang yang zhalim, akan tetapi kata al-baghi kebanyakan diungkapkan untuk orang yang zhalim.
3) Muawwal adalah lafazh yang dipalingkan dari maknanya yang kuat kepada makna yang lemah karena ada qarinah (indikasi) yang menunjukkan hal itu.
4) Dalalah iqtidha' adalah kebenaran petunjuk lafazh suatu makna tergantung kepada sesuatu yang tidak disebutkan, seperti firman Allah QS.Al-Barah:184, "Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau musafir, maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain", ayat ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu lalu ia berbuka (…sakit atau musafir lalu ia berbuka, maka). Karena kewajiban qadha' hanya berlaku bagi musafir jika ia berbuka dalam perjalanan.
5) Dalalah isharah adalah kebenaran petunjuk lafazh suatu makna tidak tergantung kepada sesuatu yang tidak disebutkan, tapi lafazh menunjukkan kepada suatu makna yang tidak dimaksud pada mulanya, seperti firman Allah dalam QS.Al-Baqarah: 187 yang menunjukkan sahnya puasa orang yang di waktu fajar masih dalam keadaan junub. Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan sesuatu itu. Maka membolehkan jima' hingga fajar berarti membolehkan junub pada waktu fajar.
[33][33] Ibid
[34][34] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar