Al-Qur'an
diturunkan Allah pada bangsa Arab pada watu Nabi Muhammad kira-kira berusia 40
tahun sampai Nabi Muhammad wafat pada usia kira-kira 63 tahun. Sehingga al
Qur’an pada masa hidup nabi ini pertama kali diperkenalkan kepada umat manusia,
terutama bangsa Arab selama 23 tahun. Pengenalannya pun dengan menggunakan
bahasa Arab supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh umat manusia yang pertama
mengenal, tentang maksud dan substansi al-Quran tersebut, hal ini seagaimana
yang tercantum dalam al-Qur’an Surah Fussilat Ayat 3 dan 44, al-Zukhruf ayat 3,
Ibrahimayat 4, serta Asy Syu’ara’ ayat 192-195.[1][1]
Dari abad 6
masehi tersebut sampai sekarang, al-Qur’an tersebut mengenal dan menjadi
pedoman umat manusia diseluruh dunia. Dimana perkembangan tersebut berbarengan
dengan keadaan umat manusia didunia ini memilki alat komunikasi yang
berbeda-beda, begitu juga dengan budaya, fisikologis, pendidikan, dan sosial.
Selain itu dengan bertambahnya umur dunia, tidak dapat kita pungkiri bahwa dari
bahasa orang Arab sendiri pun juga mengalami perubahan. Sehingga kita tidak
bisa menyamakan bahasa Arab sekarang dengan bahasa Arab pada masa sekarang.
Apalagi
kita ketahui bahwa, bangsa Arab yang pertama kali menerima al-Qur’an pada masa
Nabi, masih ada dari beberapa ayat yang belum dapat dimengerti. Dari keadaan
ini lah, bagaimana umat manusia, baik yang dari bangsa Arab ataupun yang bukan
bangsa Arab, pada masa Nabi atau pada masa sekarang harus melakukan penafsiran
terhadap al-Quran. Hal ini dilakukan agar maksud dan substansi al-Qur’an dapat
ditangkap dengan lebih baik.
Perkembangannya
muncullah ilmu tafsir, dimana ilmu tersebutpun terus berkembang. Dan dewasa ini
pola interaksi kaum muslim dengan al-Qur'anpun bukan hanya bercorak hudâ'iy,
ijtimâ'iy dan ishlâhiy (mencari petunjuk untuk kebahagiaan), tetapi
juga 'ilmiy (dalam pengertiannya yang luas mencakup intellectual
exercise, tidak hanya mencari pembenaran teori-teori sains dengan landasan
ayat suci al-Qur'an). Bahkan cenderung filosofis murni dan tak ada
kaitannya dengan misi transformatif yang menjadi ciri utama kehadiran
Al-Qur'an di pentas kehidupan manusia.[2][2]
Sejauh mana posisi dan peran manusia dalam proses
penafsiran, apakah tugasnya hanya menganalisa dan kemudian menerima otoritas
tafsir di era pembentukannya ataukah hanya melibatkan pengetahuan dan
pengalaman penafsir/pembaca teks sebagai barometer dan menganggap
penafsiran otoritas di masa lalu hanya berlaku untuk saat itu (historisitas)?
Apakah tugas penafsir kitab suci diarahkan semata untuk menangkap maksud
pemilik dan pencipta teks ataukah justru bebas menciptakan maksud dan makna
baru seiring dengan jarak waktu yang memisahkan antara pengarang dan pembaca
teks, bahkan "kematian" pengarang dianggap "berkah" untuk
melahirkan makna-makna segar yang tidak terkungkung oleh kehendak dan maksud
pengarangnya?
Oleh karena
itu, makalah berikut ini sekadar mengingatkan kembali apa itu pengertiantafsir dan takwil dan apa perbedaannya. Serta
bagaimana penafsiran dan penakwilan itu.
Tafsir menurut
bahasa adalah Idhah dan tabyin (menerangkan/menjelaskan)”. Kata
tafsir diambil dari kata fassara yufassiru tafsiiran ( تفســير ) berasal dari
kata فَسَّرَ
yang berarti keterangan atau uraian, hal ini sesuai dengan kata tafsir dalam
Q.S. Furqon ayat 33.
اوَلَا
يَأۡتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئۡنَـٰكَ بِٱلۡحَقِّ وَأَحۡسَنَ تَفۡسِيرً
Artinya: “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu perumpamaan, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya” (QS. 25:33).[3][3]
Al-Jurjani
berpendapat bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa al-kasyf wa al-izhar
yang artinya menyingkap dan melahirkan.[4][4]
Sedangkan menurut Rif’at Syauqi Nawawi dan Muhammad Ali Hasan yang dikutip Abu
Anwar, Tafsir berasal dari kata tafsirah, yaitu : perkakas yang
dipergunakan dokter untuk mengetahui orang sakit.[5][5]
Menurut
penulis, secara umum, mengenai pengertian Tafsir secara bahasa ini tidak ada
masalah, karena pada intinya arti secara bahasa adalah menyingkapkan,
menjelaskan, menerangkan, memberikan perincian atau menampakkan.
2.
Pengertian
Tafsir menurut Istilah
Dalam buku M.Hasby Ash-Shiddiqy (Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir) dijelaskan 4
pendapat ulama tafsir, tentang pengertian tafsir menurut istilah,
pendapat-pendapat tersebut yakni:
a. Tafsir menurut
Al-Kilab dalam at-Tashil adalah menjelaskan al-Qur’an, menerangkan
maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat atau tujuan.
b. Menurut Syaikh
Al-Jazairi tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan kata yang sukar
dipahami oleh pendengar sehingga berusaha mengemukakan sinonimnya atau makna
yang mendekatinya atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalahnya.
c. Menurut Abu
Hayyan tafsir adalah mengenai cara pengucapan kata-kata Al-Qur’an serta
cara mengungkapkan petunjuk, kandungan-kandungan hokum dan makna yang
terkandung didalamnya.
d. Menurut Al-Zarkasyi tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk
memahami dan menjelaskan makna-makna kitab yang diturunkan kepada Nabi-Nya,
Muhammad SAW, serta menyimpulkan kandungan hukum dan hikmahnya.[6][6]
Dari
pengertian diatas penulis sependapat dengan pendapat M. Hasby Ash Shiddiqy
bahwa faedah mempelajari ilmu tafsir yakni terpeliharanya dari salah memahami
al-Qur’an.
Secara etimologi, menurut Ibnu Manzhur dalam Lisan
al-Arab, yang dikutip Abdurrahman Mardafi, Takwil berasal dari kata آلَ
يَؤُوْلُ أَوْلٌ (الأَوْلُ
yang artinya الرجوع
(kembali)[7][7] dan العاقبة
(akibat atau pahala),[8][8] seperti firman Allah dalam QS. An-Nisa': 59:
ذَلِكَ خَيْرٌ
وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Artinya: “Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya" dan hadith من صام الدهر فلا صام ولا
آل (Barangsiapa
yang berpuasa sepanjang masa, maka berarti ia tidak berpuasa dan tidak ada
balasannya). Sedangkan isim makan dan zamannya adalah موئلا atau الموئل
yang berarti المرجع
tempat kembali, seperti dalam QS. Al-Kahfi: 58. Ada juga yang mengatakan bahwa
kata " أَوَّلَ
" yang berarti الرجوع
إليه و يعتمد عليه (kembali dan bersandar kepadanya), juga memberi
pengertian unggul dan memiliki pengikut, seperti dalam firman Allah QS.
At-Taubah:108 dan Al-An'am: 163. Kata أَوَّلَ
digunakan karena sesudahnya kembali dan bersandar kepadanya.[9][9]
4.
Pengertian
Takwil Menurut Istilah
Sedangkan dalam
terminologi Islam, Ibnu Manzhur menyebutkan dua pengertian Takwil secara
istilah dalam Lisan Al-Arab yang dikutip Abdurrahman Mardafi pertama, Takwil adalah sinonim (muradhif) dari tafsir.
Kedua, Takwil adalah memindahkan makna zhahir dari tempat
aslinya kepada makna lain karena ada dalil.[10][10]
Al-Jurjani
dalam kamus istilahnya yang terkenal At-Ta'rifat, yang dikutip
Abdurrahman Mardafi menyatakan "Takwil secara bahasa bermakna
kembali, sedangkan secara istilah bermakna mengalihkan lafazh dari maknanya
yang zhahir kepada makna lain (batin) yang terkandung di dalamnya, apabila
makna yang lain itu sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah".[11][11]
Ibnu
Al-Jawzi dalam bukunya Al-Idhah li Qawanin Al-Istilah yang dikutip
Abdurrahman Mardafi yang dikutip Abdurrahman Mardafi mengatakan bahwa, "Takwil
adalah mengalihkan lafazh ambigu (muhtamal) dari maknanya yang kuat (rajih)
kepada makna yang lemah (marjuh) karena adanya dalil yang menunjukkan
bahwa yang dimaksud oleh pembicara adalah makna yang lemah".[12][12]
Imam Haramain
Al-Juwaini dalam bukunya Al-Burhan fi Ushul Al-Fiqh yang dikutip
Abdurrahman Mardafi berkata, "Takwil adalah mengalihkan lafazh dari
makna zhahir kepada makna yang dimaksud (esoteris) dalam pandangan penTakwil".[13][13]
Abu Hamid
Al-Ghazali dalam bukunya Al-Mustashfa Min Ilmi Al-Ushul yang dikutip
Abdurrahman Mardafi mengatakan, "Takwil adalah sebuah ungkapan
(istilah) tentang pengambilan makna dari lafazh yang ambigu (muhtamal)
dengan didukung dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang
ditunjukkan oleh lafazh zhahir".[14][14]
Abu Al-Hasan
Al-Amidi Rahimahullah salah seorang ulama ushul dalam Al-Ihkam fi
Ushul Al-Ahkam yang dikutip Abdurrahman Mardafi mengatakan, "Takwil
adalah mengalihkan lafazh yang muhtamal dari makna zhahirnya
berdasarkan dalil yang menguatkannya".[15][15]
Ibnu Taimiyah
dalam bukunya Al-Iklil fi Al-Mutashabih wa At-Takwil yang dikutip
Abdurrahman Mardafi menyatakan bahwa ulama mutaqaddimin (salaf)
berpendapat bahwa Takwil merupakan sinonim dari tafsir, sehingga
hubungan (nisbat) diantara keduanya adalah sama. Abdurrahman Mardafi
menambahkan Seperti yang digunakan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya Jami'
Al-Bayan fi Takwil Ayat Al-Qur'an; Takwil dari ayat ini adalah demikian,
para ulama berbeda pendapat tentang Takwil ayat ini. Kata Takwil
yang dimaksudkan oleh beliau adalah tafsir. Sedangkan Takwil
menurut ulama mutaakhkhirin (khalaf) dari kalangan ulama ushul,
kalam, dan tashawwuf adalah mengalihkan makna lafazh yang kuat (rajih)
kepada makna yang lemah (marjuh), karena ada dalil yang menyertainya.[16][16]
[1]
Tentang perbedaan tafsir dan Takwil
ini banyak pendapat ulama yang pendapat tentang ini,dan pendapat ulama
itu tidak sama dan bahkan ada yang jauh perbedaan satu sama lain, diantara
pendapat-pendapat tersebut adalah;
Ibnu Faris yang
dikutip Abdurrahman Mardafi menyatakan bahwa maksud sebuah ungkapan tidak lepas
dari tiga hal; makna, tafsir, dan Takwil. Meskipun berbeda dari
segi istilah, namun maksud dari ketiganya saling berdekatan dan terkait. Makna
adalah maksud dan tujuan dari sebuah perkataan. Sedangkan tafsir, menyingkap
maksud yang tersembunyi dari sebuah ayat. Adapun Takwil, mengalihkan
lafazh dari suatu makna kepada makna lain yang dikandungnya.[17][17]
Ar-Raghib
Al-Isfahani yang dikutip Abdurrahman Mardafi mengatakan, "Tafsir
lebih umum dari pada Takwil. Tafsir lebih banyak digunakan kepada
lafazh-lafazh, sedangkan Takwil lebih banyak digunakan kepada
makna-makna, seperti Takwil mimpi. Takwil juga lebih banyak digunakan
dalam kitab-kitab suci, sedangkan tafsir banyak digunakan untuk
menemukan makna kata-kata dalam sebuah ucapan".[18][18]
Abdurrahman
Mardafi menambahkan dari pendapat Az-Zarkasyi bahwa, tafsir dalam
istilah para ulama adalah menyingkap atau menemukan makna-makna Al-Qur'an dan
menjelaskan maksudnya, ia lebih umum dari Takwil yang hanya sekedar
membahas lafazh-lafazh yang ambigu atau makna yang zhahir atau permasalah
lafazh lainnya. Tafsir lebih banyak digunakan dalam kalimat-kalimat.
Selain itu, tafsir juga membahas lafazh-lafazh yang asing. Sedangkan Takwil,
terkadang menggunakan lafazh umum dan terkadang lafazh khusus. Seperti kata
kufur yang terkadang diartikan ingkar dalam arti yang umum, terkadang juga
digunakan untuk pengingkaran terhadap Allah Azza wa Jalla dalam arti
yang khusus, dan kata iman yang terkadang diartikan mempercayai (tashdiq)
dalam arti yang umum, terkadang juga digunakan untuk membenarkan kebenaran,
baik dalam lafazh ambigu yang memiliki beberapa makna.
Al-Bajili yang
dikutip Abdurrahman Mardafi mengatakan bahwa tafsir berkaitan dengan riwayah
(riwayat) sedangkan Takwil berkaitan dengan dirayah (ilmu
pengetahuan). Abdurrahman Mardafi menambahakan hal serupa dinyatakan oleh Abu
Nasr Al-Qushairy, "Tafsir terbatas hanya pada mengikuti dan
mendengar (riwayat), sedangkan istimbath (kesimpulan) merupakan bagian
dari Takwil. Ini juga pendapat Abu Manshur Al-Maturidi, sehingga ia
menyimpulkan bahwa tafsir berlaku untuk para sahabat sedangkan Takwil
untuk para fuqaha' (ulama). Sebab, para sahabat adalah orang-orang yang
menyaksikan turunnya wahyu dan mendengar langsung dari Nabi Shallallahu
'alaihi wasallam serta mereka tidak akan berbicara tanpa ilmu.[19][19]
Menurut
Abdurrahman Mardafi sendiri Takwil adalah hakekat luar (haqiqah
kharijiyah) dari sebuah ayat, sedangkan mengetahui tafsir dan
maknanya adalah mengetahui gambaran sebuah ayat secara ilmiah, karena Allah Azza
wa Jalla menurunkan Al-Qur'an agar dipahami, dimengerti, direnungkan, dan
dipikirkan baik ayat yang muhkamat maupun yang mutasyabihat
meskipun tidak diketahui Takwilnya.[20][20]
Takwil merupakan bagian
dari tafsir, jika tafsir menyingkap tabir makna dari sebuah
lafazh, maka Takwil menemukan makna dari lafazh yang ambigu setelah
tabir tersingkap. Jadi, Takwil dapat berarti pendalaman makna (intensification
of meaning) dari tafsir. Tafsir menyingkap tabir makna dari
lafazh yang tersirat (implisit) sedangkan Takwil menemukan makna batin (esoteris)
dari lafazh yang eksplisit (tersurat) atau ambigu (mutasyabih).[21][21]
Mengenai perbedaan ini ada yang
menyimpulkan bahwa perbedaan tafsir dan takwil adalah sebagai berikut:
1. Tafsir lebih banyak digunakan pada
lafas dan mufradat sedangkan takwil lebih banyak digunakan pada jumlah dan
makna-makna.
2. Tafsir apa yang bersangkutan paut
dengan riwayah sedangkan Takwil apa-apa yang bersangkutan paut dengan dirayah.
3. Tafsir menjelaskan secara detail
sedangkan Takwil hanya menjelaskan secara global tentang apa yang dimaksud
dengan ayat itu.
4. Takwil menjabarkan kalimat-kalimat
dan menjelaskan maknanya sedangkan tafsir menjelaskan secara dengan sunnah dan
menyampaikan pendapat para sahabat dan para ulama dalam penafsiran itu.
5. Tafsir menjelaskan lafas yang zahir
,adakalanya secara hakiki dan adakalanya secara majazi sedangkan Takwil
menjelaskan lafas secara batin atau yang tersembunyi yang diambil dari kabar
orang orang yang sholeh.[22][22]
Berdasarkan sumber penafsirannya,
tafsir terbagi kepada dua bagian: Tafsir Bil-Ma’tsur dan Tafsir Bir-Ra’yi.[23][23] Namun
sebagian ulama ada yang menyebutkannya tiga bagian.
1.
Tafsir
Bilma’tsur adalah tafsir yang menggunakan Al-Qur’an dan/atau As-Sunnah
sebagai sumber penafsirannya.
3.
Tafsir
Bil Isyarah, Penafsiran al-Qur’an dengan firasat atau kemampuan
intuitif yang biasanya dimiliki oleh tokoh-tokoh shufi, sehingga tafsir jenis
ini sering juga disebut sebagai tafsir shufi.[24][24]
Berdasarkan
corakm penafsirannya, kitab-kitab tafsir terbagi kepada beberapa macam. Di
antara sebagai berikut: Tafsir
Shufi/Isyari, Tafsir
Fiqhy, Tafsir
Falsafi, TafsirIlmi,
Tafsir al-Adab al-Ijtima’i.[25][25]
Macam-macam Tafsir berdasarkan metodenya yakni, Metode
Tahlily (metode Analisis), Metode Ijmaly (metode Global), Metode Muqaran
(metode Komparasi/Perbandingan), Metode Maudhu’i (metode Tematik)[26][26]
Sedangkan Ilmu-ilmu yang diperlukan oleh Seorang Penafsir
menurut Imam As-Suyuthi yang dikutip oleh M. Ali Ash-Shabuni: Mengetahui bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya, Mengetahui ilmu balaghah,Mengetahui ilmu ushul fikih, Mengetahui Asbabun Nuzul, Mengetahui Nasikh dan mansukh, Mengetahui Qiraat, dan Memilki bakat dan keahlian[27][27]
Menurut para
ulama, ada bentuk dalil-dalil yang digunakan untuk merajihkan makna esoteris
(makna marjuh) dari pada makna zhahir.
a.
Nash Al-Qur'an dan As-Sunnah; seperti firman Allah
tentang keharaman bangkai (hewan sembelihan yang tidak menyebut nama Allah)
dalam QS. Al-Maidah: 3). Ayat ini menerangkan keharaman segala sesuatu dari
bangkai, termasuk kulitnya. Namun ada hadith bahwasanya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat tentang kambing milik
Maimunah Radhiyallah 'anha yang mati yang akan dibuang, "Kenapa
kalian tidak mengambil kulitnya kemudian kalian samak dan manfaatkan?",
para sahabat menjawab, "Tapi ini bangkai?", beliau menjawab,
"Yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya". Dalil dari hadith
ini mengalihkan sebuah lafazh dari makna zhahirnya.
b. Ijma'; seperti firman Allah dalam QS.Al-Jumu'ah: 9,
mengenai erintah shalat jumat, secara
zhahir ayat ini berlaku kepada semua orang beriman baik laki-laki, perempuan,
orang yang merdeka, budak, maupun anak-anak. Tetapi ijma' mengecualikan
anak-anak yang belum baligh.
c. Qiyas; diantara para ulama ada yang mensyaratkan
harus dengan qiyas jaly, seperti qiyas budak laki-laki pada budak
perempuan dalam hal pembebasannya, sedangkan qiyas fariq tidak berlaku. Hikmah Tasyri' dan kaidah-kaidah dasar syari'at;
seperti kewajiban zakat dari empat puluh ekor kambing dengan satu ekor (فِي كُلِّ
أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ).
Menurut ulama Syafi'iyah, membayar dengan seekor kambing sesuai dengan zhahir
lafazh hadith dan tidak boleh menggantinya dengan uang (ikhrajal-qiymah) karena lafazhnya jelas, khusus, dan
qath'i. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, boleh menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiymah) karena hikmah dari
mengeluarkan zakat adalah mencukupi kebutuhan orang-orang faqir dan uang lebih
bermanfaat untuk mencukupi segala kebutuhan mereka serta lebih sesuai dengan
keinginan syari'at. [28][28]
Dalam kaitannya
dengan masalah makna, seorang mujtahid ketika akan mengalihkan lafazh dari
makna yang kuat kepada makna yang lemah harus memperhatikan hal-hal berikut;
a.
Makna lughawi bahasa Arab, seperti kata shalat yang
berarti do'a, zakat yang berarti penyucian, dan shaum yang berarti menahan.
b.
Istilah-istilah
syar'i; kata yang memiliki pengertian khusus dalam
syar'i, sehingga makna kata tersebut harus dikembalikan kepada makna syar'i
bukan kepada makna lughawi (bahasa).
c.
Istilah dalam urf (kebiasaan), baik urf yang bersifat umum
seperti kata الدابة
untuk makhluk yang berkaki empat (melata) atau kata الغائط untuk kotoran,
maupun urf yang bersifat khusus seperti istilah-istilah
dalam ilmu nahwu, fiqh, hadith, dan ilmu-ilmu lainnya.[29][29]
Selain
memperhatikan tiga hal di atas, dalam mengalihkan lafazh dari makna yang kuat
kepada makna yang lemah juga harus mengembalikan kepada makna yang dekat atau
berdasarkan dalil.
Para
ulama ushul merupakan kelompok yang paling mendalami
kajian ayat-ayat Al-Qur'an, bila dibandingkan dengan kelompok disiplin ilmu
lainnya. Hal itu mereka lakukan untuk kepentingan pengambilan hukum (istimbath al-ahkam). Sehingga kajian para ulama ushul
merupakan kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadith. Dari pendalaman
kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk Takwil, diantaranya
mengkhususkan lafazh yang umum (takhshishal-umum), membatasi lafazh yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya
yang hakiki kepada yang majazi, atau dari makanya yang mengandung wajib menjadi
makna yang sunnah.[30][30]
Allah Azza
wa Jalla menurunkan Al-Qur'an dengan dua macam ayat; muhkamat dan mutasyabihat. Ayat-ayat muhkamat adalah
ayat-ayat yang sudah jelas maksud dan maknanya. Sedangkan mutasyabihat
adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan
arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam atau
ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang
berhubungan dengan perkara-perkara gaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari
kiamat, surga, neraka dan lain-lain. Secara umum, ayat-ayat mutasyabihat
merupakan objek kajian Takwil (majaal al-Takwil).
Lebih spesifik
lagi Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul dalam Syarh Muqaddimah fi Ushul
Tafsir Ibnu Taimiyah yang dikutip Abdurrahman Mardafi menyatakan bahwa, mantuq
memiliki lima macam; nash, zhahir, muawwal, dalalah iqtidha', dan
dalalah isharah.[31][31] Maka nash dan zhahir
adalah bagian dari pembahasan tafsir, sedangkan muawwal, dalalah
iqtidha', dan dalalah isharah adalah bagian dari pembahasan Takwil.[32][32]
Ash-Shaukani
dalam Irsyadul Fuhul yang dikutip Abdurrahman Mardafi menjelaskan bahwa
ada dua ruang lingkup Takwil (majaal al-Takwil); Pertama,
kebanyakan dalam masalah-masalah furu', yakni dalam nash-nash yang
berkaitan dengan hukum-hukum syariah. Takwil dalam ruang lingkup ini
tidak diperselisihkan lagi mengenai bolehnya di kalangan ulama. Kedua,
dalam masalah-masalah ushul, yakni nash-nash yang berkaitan dengan
masalah aqidah. Seperti, nash tentang sifat-sifat Allah Azza wa Jalla,
bahwa Allah memiliki tangan, wajah, dan sebagainya. Selain itu, termasuk juga
huruf muqattha'ah di permulaan surat-surat.[33][33]
Selain
menetapkan aturan dalam menTakwil, para ulama juga menetapkan beberapa
persyaratan bagi orang yang ingin melakukan Takwil terhadap ayat-ayat
Al-Qur'an dengan kriteria yang cukup ketat, yang juga merupakan kriteria bagi
seorang mujtahid dan mufassir;
a.
Memiliki ilmu
tentang Al-Qur'an; mengetahui dan mengusai ayat-ayat Al-Qur'an terutama
ayat-ayat hukum dan tidak disyaratkan harus menghafalnya.
b.
Memiliki ilmu
tentang As-Sunnah; mengetahui dan mengusai hadith-hadith hukum dan mampu
menyebutkannya, serta membedakannya mana yang shahih dan mana yang dhaif,
mengetahui nasikh dan mansukh, mengetahui ijma', dan perbedaan-perbedaan
pendapat para ulama.
c.
Mengusai ilmu
ushul fiqh sebagai modal ijtihad.
d.
Mengusai bahasa
Arab dengan baik dan mengetahui makna-makna dari setiap katanya, karena Takwil-Takwil
batil kebanyakan berasal dari orang ajam yang tidak mengusai bahasa
Arab.
e.
Mengetahui maqashid
shari'ah dengan baik.
Tafsir dan
takwi bagi ulama mukaddimin memilki makna yang sama, namun paka ulama muakhirin
memiliki makna yang berbeda dimana takwil adalah mengungkap dan memilih makna
dari lafazh ambigu yang memiliki pluralitas makna. Sedangkan tafsir hanyalah
menjelaskan sesuai dengan bahasa yang ada.
Walaupun
demikian kebanyakan ulama berpandangan bahwa takwil berbeda dengan
hermeneutika. Walaupun difini hermeneutika yang disampaikan Paul Ricour
merupakan hermeneutika yang paling dekat dengan difinisi Takwil. Namun tetap
saja berbeda, dimana perbedaannya yaitu takwil merupakan usaha untuk memilih
dan menetapkan makna dari lafazh yang ambigu, sedangkan hermeneutika juga
merupakan usaha mengungkap makna yang masih terselubung dari lapisan makna yang
terkandung dalam suatu kata. Padahal, hal ini berbeda dengan konsep Takwil
dalam Islam. Takwil dilakukan jika ada dalil yang mengalihkan makna lafazh dari
yang eksoteris (zhahir) kepada makna esoteris (batin). Sedangkan hermeneutika tidak memperhatikan makna
eksoteris (zhahir) dan langsung kepada makna esoteris (batin). Menurut
Abdurrahman hal itu karena hermeneutika merupakan metode tafsir bible yang
tidak memperhatikan zhahir teks karena bible memiliki masalah dalam otentisitas
teksnya. Berbeda dengan Takwil yang harus memperhatikan zhahir nash karena
Al-Qur'an tidak memiliki masalah otentisitas teks sebagaimana bible.
Menurut
penulis konsep tafsir dan takwil yang ada dalam Islam memiliki keunggulan,
dimana keunggulannya yakni tetap memberikan hak priogratif terhadap al-Quran
untuk memberikan makna dari segi teks. Walaupun juga memiliki kelemahan apabila
terjadi pertentangan keadaan temapat dan waktu.
G. DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Mardafi, http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=516:konsep-tawil-dalam-islam-&catid=43:aliran-menyimpang&Itemid=103
ArisNurbawani, Tugas Ulumul Qur'an dan Hadits ~ STAIL PP
Hidayatullah Surabaya,2006. _home_www_aysia.freefronthost.com_data_tafsir-takwil.
http//aadesanjaya.blogspot.com/2009/
[1][1] ‘Ali Hasan Al-‘Aridh, Sejarah dan Metodologi
Tafsir, penerjemah: Ahmad Akrom, dari judul asli “Tarikh ‘Ilm al-Tafsir wa
Manahij al-Mufassirin”, (Jakarta: Rajawali, 1992), h. 10-12
[2][2] Aris Nurbawani, Tugas Ulumul Qur'an dan Hadits
~ STAIL PP Hidayatullah Surabaya, 2006. _home_www_aysia.freefronthost.com_data_tafsir-takwil.
di akses pada tanggal 7 Desember 2011 pukul 09.13 pm
[5][5] Abu Anwar, Ulumul Qur’an; Sebuah Pengantar,
( : Amzah,
2005)cet. ke-2, h. 98
[6][6] M. Hasby Ash-Shiddiqy, Sejarah dan
Pengantar Ilmu al-Quran/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), cet. ke-8,
h. 192-193
[7][7] Abdurrahman Mardafi, http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=516:konsep-tawil-dalam-islam-&catid=43:aliran-menyimpang&Itemid=103, di
akses pada tanggal 8 Desember 2011 pukul 11.32 pm
[8][8] Ibid
[9][9] Ibid
[10][10] Ibid
[11][11] Ibid
[12][12] Ibid
[13][13] Ibid
[14][14] Ibid
[15][15] Ibid
[16][16] Ibid
[17][17] Ibid
[18][18] Ibid
[19][19] Ibid
[20][20] Ibid
[21][21] Ibid
[22][22] Op cit.,
http//aadesanjaya.blogspot.com/2009/ di akses pada tanggal 7
Desember 2011 pukul 08.07 pm
[23][23]Ibid
[24][24] Ibid
[25][25] Ibid
[26][26] Ibid
[27][27] M. Ali Asy-Syabuni, At-Tibyan Fi Ulumil
Qur’an, “penerjemah; M. Qodirun Nur, dengan judul: Ikhtisyar Ulumul Qur’an
Praktis”, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), h.256
[29][29] Ibid
[30][30] Ibid
2)
Zhahir adalah adalah lafazh yang memiliki
makna lain tapi lemah, seperti kata al-baghi yang memiliki dua arti
yaitu ungkapan untuk orang yang bodoh dan orang yang zhalim, akan tetapi kata al-baghi
kebanyakan diungkapkan untuk orang yang zhalim.
3)
Muawwal adalah lafazh yang dipalingkan dari
maknanya yang kuat kepada makna yang lemah karena ada qarinah (indikasi)
yang menunjukkan hal itu.
4)
Dalalah iqtidha' adalah
kebenaran petunjuk lafazh suatu makna tergantung kepada sesuatu yang tidak
disebutkan, seperti firman Allah QS.Al-Barah:184, "Maka barangsiapa
diantara kamu ada yang sakit atau musafir, maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain", ayat
ini memerlukan suatu lafazh yang tidak disebutkan yaitu lalu ia berbuka
(…sakit atau musafir lalu ia berbuka, maka…). Karena kewajiban
qadha' hanya berlaku bagi musafir jika ia berbuka dalam perjalanan.
5) Dalalah isharah adalah
kebenaran petunjuk lafazh suatu makna tidak tergantung kepada sesuatu yang
tidak disebutkan, tapi lafazh menunjukkan kepada suatu makna yang tidak
dimaksud pada mulanya, seperti firman Allah dalam QS.Al-Baqarah: 187 yang
menunjukkan sahnya puasa orang yang di waktu fajar masih dalam keadaan junub.
Membolehkan melakukan penyebab sesuatu berarti membolehkan pula melakukan
sesuatu itu. Maka membolehkan jima' hingga fajar berarti membolehkan junub pada
waktu fajar.
[33][33] Ibid
[34][34] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar